OPINI - Ungkapan “Think Globally, Act Locally” pertama kali dicetuskan oleh Patrick Geddes (1915) seorang ahli biologi Skotlandia, sosiolog, dermawan dan perintis perencana kota dalam ide dan gagasannya membuat perencanaan kota Skotlandia.
Patrick Geddes, bapak perencana kota yang dikagumi dan menginspirasi perencana kota-kota besar dan modern diseluruh dunia.
Think Globally, Act Locally” merupakan dorongan untuk memiliki wawasan global namun dalam tindakan secara lokal sesuai dengan kearifan lokal yang dipahami.
Ide awalnya berkaitan dengan perencanaan kota, namun dalam perkembangannya menjadi 'raw model' berbagai disiplin ilmu lainnya termasuk di dunia bisnis dan pengembangan UMKM.
Baca juga:
Gamawan Fauzi: Semua Ada Akhirnya
|
___
Saya pertama kali terkesan dengan ungkapan ini, ketika menjadi salahsatu peserta 'short Course' Small Medium Enterprises Development (SMEs Dev) di tokyo, Japan pada Tahun 2000, 23 tahun yang lalu.
Short Course SMEs Dev. Yg dilaksanakan lebih kurang 2 bulan ini digagas Pusbindiklatren BAPPENAS, dengan para peserta perwakilan perencana kab/kota seluruh indonesia yang lolos seleksi mereka. Dimasa itu memang Bappenas sedang gencar-gencarnya memberikan penguatan SDM perencana kabupaten/kota di indonesia.
Jepang dipilih karena termasuk negara yang menonjol dalam pengembangan UMKM. Perpaduan antara Perkembangan Teknologi, Riset dengan tetap mempertahankan kearifan lokal masyarakatnya. Salahsatu keberhasilannya (yang dicoba ditiru Indonesia) adalah konsep 'One Village One Product (OVOP)'. Meskipun bisa dikatakan tidak berhasil penerapannya di kab/kota di indonesia karena culture dan kondisi eksisting yg berbeda.
Baca juga:
Tony Rosyid: Pilgub di IKN Memanas
|
'Think globally, act locally' sudah menjadi slogan umum bagi pelaku UMKM di jepang diwaktu itu. Di dukung oleh pengembangan teknologi dan riset oleh pemerintah jepang. Hampir di setiap 'Perfecture' (istilah untuk pemerintahan kab/kota di jepang) mempunyai lembaga dan anggaran yang cukup untuk pengembangan UMKM.
'Think globally, act locally' didasarkan kepada pemahaman bahwa kedepan dunia dalam kondisi tanpa batas (borderless) tidak ada lagi hambatan jarak dan lokasi. Setiap orang bisa bertransaksi, berdagang, dimana saja dan kapan saja. Bekerja dari rumah (locally) tapi menjual produk bisa kemana saja (globally). Pemahaman kebutuhan (need) pasar global dan peningkatan daya saing produk adalah kata kucinya.
Meskipun demikian para akademisi dan para pengambil kebijakan di jepang, disaat itu sangat memahami bahwa generasi muda jepang dengan tingkat pendidikan tinggi, pekerjaan yang lebih disukai kerja kantoran daripada pekerjaan pabrikan atau wirausaha.
Ancaman terbesar justru dari negara tetangga china dan taiwan dengan ciri pekerja yang lebih ulet dan upah yang lebih murah. Produk-produk china untuk kebutuhan rumah tangga yang dijual murah juga merupakan ancaman bagi produk-produk Usaha mikro dan rumah yang dihasilkan jepang. Terbukti dengan menjamurnya toko-toko serba 100 yen di jepang yang notabene adalah produk-produk buatan china.
Pelajaran yang dapat diambil dari Jepang, meskipun setiap perfecture sudah memberikan support yang besar terhadap perkembangan UMKM, riset dan pengembangan teknologi produk, kemudahan akses permodalan dan lain sebagainya, tetap akan bisa kalah bersaing jika para pelaku usaha tidak memiliki jiwa enterpreunurship yang tinggi.
Jika kita lihat sekarang, beberapa platform belanja online di china seperti alibaba, aliexpress, taobao, 1688 dll. Semakin berkembang dan mendunia, tidak demikian halnya pasar belanja online produk umkm jepang.
Semoga saja indonesia tidak hanya sebagai pasar dan konsumen bagi produk-produk China, tapi juga menjadi produsen bagi produk-produk yg dibutuhkan masyarakat luar negeri. Slogan 'Think globally act locally' perlu digaungkan lagi. (*)
Ditulis oleh: Indra Gusnady, S.E, M.Si